Gambar Sampul SEJARAH · Bab 3 Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
SEJARAH · Bab 3 Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Abdurakhman, Arif Pradono, Linda Sunarti dan Susanto Zuhdi

22/08/2021 10:24:27

SMA 12 K-13 revisi 2018

Lihat Katalog Lainnya
Halaman

77

Sejarah Indonesia

BAB III

Sistem dan Struktur Politik

dan Ekonomi Indonesia

Masa Demokrasi Terpimpin

(1959-1965)

“Masalah kita, bangsa Indonesia, hanya bisa dipecahkan dengan

perumusan nilai-nilai murni bangsa sendiri....

(Soekarno, Susunlah Konstituante yang benar-benar Konstituante, pidato

Presiden Soekarno di depan Dewan Konstituante pada saat pembukaan)

Sumber: Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 7: Pascarevolusi, 2012

78

Kelas XII SMA/MA

Kutipan di atas merupakan pidato Presiden Soekarno di depan Dewan

Konstituante Republik Indonesia yang akan bersidang menyusun UUD baru

menggantikan UUD Sementara 1950. Harapan Bung Karno bahwa UUD

yang baru terbentuk nanti memuat nilai-nilai bangsa Indonesia, sehingga

bisa menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi bangsa Indonesia.

Presiden Soekarno mencoba mengusulkan pemikirannya dalam menyelesaikan

permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia melalui konsepsi yang dikenal

dengan Konsepsi Presiden 1957. Konsepsi ini merupakan gagasan pembaruan

kehidupan politik dengan sistem Demokrasi Terpimpin sebagai upaya

penyelesaian permasalahan bangsa Indonesia. Soekarno berpendapat bahwa

sistem Demokrasi Terpimpin adalah jawaban terhadap kegagalan sistem

Demokrasi Parlementer yang memunculkan pergolakan, pembangkangan

dan instabilitas politik. Pendapat Presiden Soekarno ini wujud ketidakpuasan

terhadap sistem demokrasi yang dianut pemerintah masa demokrasi liberal.

Perlu kalian ketahui, dengan dikeluarkannya Dekret Presiden pada 5 Juli

1959, Presiden Soekarno secara resmi menerapkan pemikirannya dengan

mengganti sistem Demokrasi Parlementer menjadi Demokrasi Terpimpin.

Melalui sistem ini, Presiden Soekarno membawa Indonesia ke dalam suasana

konflik

antar kekuatan

politik

yang pada akhirnya

melahirkan

peristiwa

Gerakan 30 September 1965/PKI. Pemikiran politik Soekarno akhirnya

menjepit dirinya dan mengantarkannya kepada kejatuhan kekuasaan yang

dipegangnya sejak 1960.

79

Sejarah Indonesia

1959 - 1965

Bahasan

Cakupan

Bahasan

Peta Konsep

Perkembangan Politik dan Ekonomi

Masa Demokrasi Terpimpin

Menuju

Demokrasi

Terpimpin

Peta Kekuatan

Politik Nasional

Perjuangan

Pembebasan Irian

Barat (Trikora)

Konfrontasi

Malaysia

(Dwikora)

Dewan Perancang

Nasional

Devaluasi

Mata Uang

Deklarasi

Ekonomi

Dinamika

Politik

Perkembangan

Ekonomi

80

Kelas XII SMA/MA

TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah mempelajari uraian ini, diharap kamu dapat:

1.

Memahami perkembangan politik pada masa Demokrasi Terpimpin

mulai dari Menuju Demokrasi Terpimpin, Peta Kekuatan Politik

Nasional, Perjuangan Pembebasan Irian Barat (Trikora) dan

Konfrontasi Malaysia (Dwikora).

2.

Memahami kebijakan dan sistem ekonomi pada masa Demokrasi

Terpimpin terkait dengan Dewan Perancang Nasional, Devaluasi

Mata Uang, Deklarasi Ekonomi.

ARTI PENTING

Belajar Sejarah Demokrasi Terpimpin penting bagi kesadaran bangsa

Indonesia untuk memahami salah satu bentuk demokrasi dan sistem

ekonomi yang pernah diterapkan di negeri ini. Pemahaman dan

pengalaman kita akan kehidupan berdemokrasi diharapkan menjadi

semakin kaya. Tentu dengan kesadaran akan kekurangan dan kelebihan

yang ada.

81

Sejarah Indonesia

A. Dinamika Politik Masa Demokrasi Terpimpin

Mengamati Lingkungan

Sumber: diolah dari berbagai sumber

Gambar 3.1 Infrastruktur yang dibangun pada masa Demokrasi Terpimpin

melalui politik mercusuar

1.

Coba kamu perhatikan gambar-gambar di atas!

2.

Diskusikan dengan gurumu, gambar apa saja yang ada di atas!

3.

Apa kaitannya

gambar tersebut dengan politik pembangunan Presiden

Soekarno?

1.

Menuju Demokrasi Terpimpin

Kehidupan sosial politik Indonesia pada masa Demokrasi Liberal (1950

hingga 1959) belum pernah mencapai kestabilan secara nasional. Kabinet

yang silih berganti membuat program kerja kabinet tidak dapat dijalankan

sebagaimana mestinya. Partai-partai politik saling bersaing dan saling

menjatuhkan. Mereka lebih mengutamakan kepentingan kelompok masing-

masing. Di sisi lain, Dewan Konstituante yang dibentuk melalui Pemilihan

Umum 1955 tidak berhasil menyelesaikan tugasnya menyusun UUD baru

bagi Republik Indonesia. Padahal Presiden Soekarno menaruh harapan

besar terhadap Pemilu 1955, karena bisa dijadikan sarana untuk membangun

demokrasi yang lebih baik. Hal ini seperti yang diungkapkan Presiden Soekarno

bahwa “era ‘demokrasi raba-raba’ telah ditutup”. Namun pada kenyataanya,

hal itu hanya sebuah angan dan harapan Presiden Soekarno semata.

Kondisi tersebut membuat Presiden Soekarno berkeinginan untuk

mengubur partai-partai politik yang ada, setidaknya menyederhanakan partai-

partai politik yang ada dan membentuk kabinet yang berintikan 4 partai yang

menang dalam Pemilihan Umum 1955. Untuk mewujudkan keinginannya

tersebut, pada tanggal 21 Februari 1957, di hadapan para tokoh politik dan

82

Kelas XII SMA/MA

tokoh militer menawarkan konsepsinya untuk menyelesaikan dan mengatasi

krisis-krisis kewibawaan pemerintah yang terlihat dari jatuh bangunnya

kabinet. Dalam konsepsinya Presiden Soekarno menghendaki dibentuknya

kabinet berkaki empat (koalisi) yang anggotanya terdiri dari wakil-wakil

PNI, Masyumi, NU dan PKI. Selain itu Presiden Soekarno juga menghendaki

dibentuknya Dewan Nasional yang anggotanya terdiri dari golongan fungsional

di dalam masyarakat.

Lebih jauh Presiden Soekarno juga menekankan bahwa Demokrasi

Liberal yang dipakai saat itu merupakan demokrasi impor yang tidak sesuai

dengan jiwa dan semangat bangsa Indonesia. Untuk itu ia ingin mengganti

dengan suatu demokrasi yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia,

yaitu Demokrasi Terpimpin.

Demokrasi Terpimpin sendiri merupakan suatu sistem pemerintahan yang

ditawarkan Presiden Soekarno pada Februari 1957. Demokrasi Terpimpin juga

merupakan suatu gagasan pembaruan kehidupan politik, kehidupan sosial dan

kehidupan ekonomi. Gagasan Presiden Soekarno ini dikenal sebagai Konsepsi

Presiden 1957. Pokok-pokok pemikiran yang terkandung dalam konsepsi

tersebut,

Pertama

, dalam pembaruan struktur politik harus diberlakukan

sistem demokrasi terpimpin yang didukung oleh kekuatan-kekuatan yang

mencerminkan aspirasi masyarakat secara seimbang.

Kedua

, pembentukan

kabinet gotong royong berdasarkan imbangan kekuatan masyarakat yang

terdiri atas wakil partai-partai politik dan kekuatan golongan politik baru

yang diberi nama oleh Presiden Soekarno golongan fungsional atau golongan

karya.

Upaya untuk menuju Demokrasi Terpimpin telah dirintis oleh Presiden

Soekarno sebelum dikeluarkannya Dekret Presiden 5 Juli 1959. Langkah

pertama adalah pembentukan Dewan Nasional pada 6 Mei 1957. Sejak saat

itu Presiden Soekarno mencoba mengganti sistem Demokrasi Parlementer

yang membuat pemerintahan tidak stabil dengan Demokrasi Terpimpin.

Melalui panitia perumus Dewan Nasional, dibahas mengenai usulan kembali

ke UUD 1945. Usulan ini berawal dari KSAD Letnan Jenderal Nasution yang

mengajukan usul secara tertulis untuk kembali ke UUD 1945 sebagai landasan

pelaksanaan Demokrasi Terpimpin. Usulan Nasution ini kurang didukung oleh

wakil-wakil partai di dalam Dewan Nasional yang cenderung mempertahankan

UUD Sementara 1950. Situasi ini pada awalnya membuat Presiden Soekarno

ragu untuk mengambil keputusan, namun atas desakan Nasution, akhirnya

Presiden Soekarno menyetujui untuk kembali ke UUD 1945.

Langkah selanjutnya yang dilakukan oleh Presiden Soekarno adalah

mengeluarkan suatu keputusan pada tanggal 19 Februari 1959 tentang

pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dalam rangka kembali ke UUD 1945.

83

Sejarah Indonesia

Keputusan ini pun kemudian disampaikan Presiden Soekarno di hadapan

anggota DPR pada tanggal 2 Maret 1959. Karena yang berwenang menetapkan

UUD adalah Dewan Konstituante, Presiden juga menyampaikan amanat

terkait kembali ke UUD 1945 di hadapan anggota Dewan Konstituante pada

tanggal 22 April 1959. Dalam amanatnya Presiden Soekarno menegaskan

bahwa bangsa Indonesia harus kembali kepada jiwa revolusi dan mendengarkan

amanat penderitaan rakyat. UUD 1945 akan menjadikan bangsa Indonesia

sebagai sebuah negara kesatuan. Untuk itu, Presiden Soekarno kemudian

meminta anggota Dewan Konstituante untuk menerima UUD 1945 apa

adanya tanpa perubahan dan menetapkannya sebagai UUD RI yang tetap.

Dewan Konstituante kemudian mengadakan pemungutan suara untuk

mengambil keputusan terhadap usulan Presiden, namun setelah melakukan

pemungutan sebanyak tiga kali tidak mencapai kuorum untuk menetapkan

kembali UUD 1945.

Sumber: 30 Tahun Indonesia Merdeka, Deppen, 1975

Gambar 3.2 Hasil Perhitungan di Dewan Konstituante terhadap usulan kembali

ke UUD 1945

Pada keesokan harinya, tanggal 3 Juni 1959, Dewan Konstituante

mengadakan reses yang akhirnya untuk selamanya. Hal ini disebabkan

beberapa fraksi dalam Dewan Konstituante tidak akan menghadiri sidang

lagi kecuali untuk pembubaran Dewan Konstituante. Kondisi ini membuat

situasi

politik menjadi

sangat

genting,

konflik

politik

antarpartai

semakin

panas dan melibatkan masyarakat di dalamnya ditambah munculnya beberapa

pemberontakan di daerah yang mengancam Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Untuk mencegah munculnya ekses-ekses politik sebagai akibat

ditolaknya usulan pemerintah untuk kembali ke UUD 1945 oleh Dewan

Konstituante, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) selaku Penguasa Perang

Pusat (Peperpu), A.H. Nasution, atas nama pemerintah mengeluarkan

84

Kelas XII SMA/MA

larangan bagi semua kegiatan politik, yang berlaku mulai tanggal 3 Juni 1959,

pukul 06.00 Pagi. KSAD dan Ketua Umum PNI, Suwiryo, menyarankan

kepada Presiden Soekarno untuk mengumumkan kembali berlakunya UUD

1945 dengan suatu Dekret Presiden. Sekretaris Jenderal PKI pun, D.N. Aidit

memerintahkan anggota partainya yang duduk di Dewan Konstituante untuk

tidak menghadiri kembali sidang Dewan Konstituante.

Presiden Soekarno memerlukan waktu beberapa hari untuk mengambil

langkah yang menentukan masa depan bangsa Indonesia dan menyelesaikan

permasalahan yang ada. Pada tanggal 3 Juli 1959, Presiden Soekarno

memanggil Ketua DPR, Mr. Sartono, Perdana Menteri Ir. Djuanda, para

menteri, pimpinan TNI, dan anggota Dewan Nasional (Roeslan Abdoel Gani

dan Moh. Yamin), serta ketua Mahkamah Agung, Mr. Wirjono Prodjodikoro,

untuk mendiskusikan langkah yang harus diambil. Setelah melalui serangkaian

pembicaraan yang panjang mereka bersepakat mengambil keputusan untuk

memberlakukan kembali UUD 1945. Pertemuan tersebut juga menyepakati

untuk mengambil langkah untuk melakukannya melalui Dekret Presiden.

Pada hari Minggu, 5 Juli 1959 pukul 17.00, dalam suatu upacara resmi

yang berlangsung selama 15 menit di Istana Merdeka, Presiden Soekarno

mengumumkan Dekret yang memuat tiga hal pokok, yaitu:

1)

Menetapkan pembubaran Konstituante.

2)

Menetapkan UUD 1945 berlaku bagi segenap bangsa Indonesia dan

seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai tanggal penetapan

Dekret dan tidak berlakunya lagi UUD Sementara (UUDS).

3)

Pembentukan MPRS, yang terdiri atas anggota DPR ditambah

dengan utusan-utusan dan golongan, serta pembentukan Dewan

Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).

Dekret juga mendapat sambutan baik dari masyarakat yang hampir selama

10 tahun merasakan ketidakstabilan kehidupan sosial politik. Mereka berharap

dengan Dekret akan tercipta suatu stabilitas politik. Dekret pun dibenarkan

dan diperkuat oleh Mahkamah Agung. Dekret juga didukung oleh TNI dan

Sumber: 30 Tahun Indonesia

Merdeka, Deppen, 1975)

Gambar 3.3 Suasana

Pembacaan Dekret Presiden

5 Juli 1959

85

Sejarah Indonesia

dua partai besar, PNI dan PKI serta Mahkamah Agung. Bahkan KSAD, salah

satu konseptor Dekret, mengeluarkan perintah harian kepada seluruh jajaran

TNI AD untuk melaksanakan dan mengamankan Dekret Presiden. Dukungan

lain kemudian datang dari DPR, dalam sidangnya pada 22 Juli 1959, dipimpin

langsung oleh ketua DPR, secara aklamasi menetapkan bersedia bekerja terus

di bawah naungan UUD 1945.

Melalui Dekret Presiden, Konsep Demokrasi Terpimpin yang dirumuskan

Presiden Soekarno melalui konsepsi 1957 direalisasikan pemberlakukan

melalui

Staatsnoodrecht

, hukum negara dalam keadaan bahaya perang.

Langkah politik ini terpaksa diambil karena keadaan tatanegara dalam

keadaan krisis yang membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa dan juga

mengancam keutuhan NKRI.

Sehari sesudah Dekret Presiden 5 Juli 1959, Perdana Menteri Djuanda

mengembalikan mandat kepada Soekarno dan Kabinet Karya pun dibubarkan.

Kemudian pada 10 Juli 1959, Soekarno mengumumkan kabinet baru yang

disebut Kabinet Kerja. Dalam kabinet ini Soekarno bertindak selaku perdana

menteri, dan Djuanda menjadi menteri pertama dengan dua orang wakil yaitu

dr. Leimena dan dr. Subandrio. Keanggotaan kabinet terdiri atas sembilan

menteri dan dua puluh empat menteri muda. Kabinet tidak melibatkan para

ketua partai besar, sehingga kabinet bisa dikatakan sebagai kabinet non

partai. Namun kabinet ini mengikutsertakan para kepala staf angkatan, kepala

kepolisian dan jaksa agung sebagai menteri negara

ex

officio

. Program

kabinet yang dicanangkan meliputi penyelenggaraan keamanan dalam negeri,

pembebasan Irian Barat, dan melengkapi sandang pangan rakyat.

Pembentukan kabinet kemudian diikuti pembentukan Dewan Per

-

timbangan Agung Sementara (DPAS) yang langsung diketuai oleh Presiden

Soekarno, dengan Roeslan Abdulgani sebagai wakil ketuanya. DPAS

bertugas menjawab pertanyaan presiden dan berhak mengajukan usul kepada

pemerintah. Lembaga ini dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 3

tahun 1959 tertanggal 22 Juli 1959. Anggota DPAS dilantik pada tanggal

15 Agustus 1959, dengan komposisi berjumlah 45 orang, 12 orang wakil

golongan politik, 8 orang wakil/utusan daerah, 24 orang wakil golongan

karya/fungsional dan satu orang wakil ketua.

Pada tanggal 17 Agustus 1959, dalam pidato peringatan kemerdekaan

RI, Presiden Soekarno menafsirkan pengertian demokrasi terpimpinnya.

Dalam pidato tersebut, Presiden Soekarno menguraikan ideologi Demokrasi

Terpimpin yang isinya mencakup revolusi, gotong royong, demokrasi, anti

imperialisme-kapitalisme, anti demokrasi liberal, dan perubahan secara total.

Pidato tersebut diberi judul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”. DPAS dalam

86

Kelas XII SMA/MA

sidangnya bulan November 1959 mengusulkan kepada pemerintah agar

amanat Presiden pada tanggal 17 Agustus 1959 dijadikan Garis-garis Besar

Haluan Negara. Presiden Soekarno kemudian menerima usulan pidatonya

sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara dengan nama “Manifesto Politik

Republik Indonesia” disingkat Manipol.

Lembaga berikutnya yang dibentuk oleh Presiden Soekarno melalui

Penetapan Presiden No. 2/1959 tanggal 31 Desember 1959 adalah Majelis

Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dengan Chairul Saleh (tokoh

Murba) sebagai ketuanya dan dibantu beberapa orang wakil ketua. Anggota

MPRS pemilihannya dilakukan melalui penunjukkan dan pengangkatan oleh

presiden, tidak melalui pemilihan umum sesuai dengan ketentuan UUD 1945.

Mereka yang diangkat harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu setuju

kembali ke UUD 1945, setia kepada perjuangan RI dan setuju dengan Manifesto

Politik. MPRS dalam menjalankan fungsi dan tugasnya tidak sejalan dengan

apa yang diamanatkan dalam UUD 1945, namun diatur melalui Penpres No.

2/1959, dimana fungsi dan tugas MPRS hanya menetapkan Garis-garis Besar

Haluan Negara.

Sementara itu, untuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil Pemilihan

Umum 1955 tetap menjalankan tugasnya dengan landasan UUD 1945

dengan syarat menyetujui segala perombakan yang diajukan pemerintah

sampai dibentuknya DPR baru berdasarkan Penetapan Presiden No. 1/1959.

Pada awalnya tampak anggota DPR lama seperti akan mengikuti apa saja

yang akan menjadi kebijakan Presiden Soekarno, hal ini terlihat ketika DPR

secara aklamasi dalam sidang 22 Juli 1959 menyetujui Dekret Presiden 5 Juli

1959. Akan tetapi benih konflik

sebenarnya

sudah mulai muncul

antara ketua

DPR dan Presiden. Sartono selaku ketua DPR menyarankan kepada Presiden

Soekarno agar meminta mandat kepada DPR untuk melakukan perombakan

struktur kenegaraan sesuai dengan UUD 1945 dan untuk melaksanakan

program kabinet. Bahkan Sartono meyakinkan Presiden bahwa mandat itu

pasti akan diberikan, namun Presiden Soekarno menolak, ia hanya akan datang

ke DPR untuk menjelaskan perubahan konstitusi dan lain-lain, bukan untuk

meminta mandat. Hal ini berarti Presiden tidak mau terikat dengan DPR.

Konflik

terbuka

antara DPR dan Presiden

akhirnya

terjadi

ketika DPR

menolak Rencana Anggaran Belanja Negara tahun 1960 yang diajukan oleh

Pemerintah. Penolakan tersebut membawa dampak pembubaran DPR oleh

Presiden Soekarno pada tanggal 5 Maret 1960. Ia kemudian mendirikan DPR

Gotong Royong (DPR-GR). Para anggota DPR-GR ditunjuk Presiden tidak

berdasarkan perimbangan kekuatan partai politik, namun lebih berdasarkan

perimbangan lima golongan, yaitu Nasionalis, Islam, Komunis, Kristen-

87

Sejarah Indonesia

Katolik dan golongan fungsional. Sehingga dalam DPR-GR terdiri atas dua

kelompok besar yaitu wakil-wakil partai dan golongan fungsional (karya)

dengan perbandingan 130 wakil partai dan 153 wakil golongan fungsional.

Pelantikan anggota DPR-GR dilaksanakan pada 25 Juni 1960 dengan tugas

pokok melaksanakan Manipol, merealisasikan amanat penderitaan rakyat dan

melaksanakan Demokrasi Terpimpin. Kedudukan DPR-GR adalah Pembantu

Presiden/Mandataris MPRS dan memberikan sumbangan tenaga kepada

Presiden untuk melaksanakan segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh

MPRS.

Pembubaran DPR hasil pemilu pada awalnya memunculkan reaksi dari

berbagai pihak, antara lain dari pimpinan NU dan PNI. Tokoh NU yang pada

awalnya keberatan atas pembubaran DPR hasil Pemilu 1955 dan mengancam

akan menarik pencalonan anggotanya untuk DPR-GR. Akan tetapi sikap ini

berubah setelah jatah kursi kursi NU dalam DPR-GR ditambah. Namun, K.H.

Wahab Chasbullah, Rais Aam NU, menyatakan bahwa NU tidak bisa duduk

bersama PKI dalam suatu kabinet dan NU sesungguhnya menolak kabinet

Nasakom dan menolak kerjasama dengan PKI.

Tokoh dari kalangan PNI yang menolak kebijakan Presiden Soekarno

datang dari dua orang sahabat Soekarno, Mr. Sartono dan Mr. Iskaq

Tjokroadisurjo. Sartono merasa prihatin terhadap perkembangan yang ada dan

Iskaq menyatakan bahwa anggota PNI yang duduk dalam DPR-GR bukanlah

wakil PNI. Hubungan mereka dengan PNI sudah tidak ada lagi, sebab mereka

yang duduk dalam DPR-GR adalah hasil penunjukkan.

Sikap tokoh partai memang bervariasi, mereka yang menolak pembubaran

DPR-GR menggabungkan diri dalam suatu kelompok yang menamakan

dirinya Liga Demokrasi. Tokoh yang terlibat dalam Liga Demokrasi ini

meliputi tokoh partai NU, Masyumi, Partai Katolik, Parkindo, IPKI dan PSII

dan beberapa panglima daerah yang memberikan dukungan. Kelompok

ini mengusulkan untuk penangguhan pembentukan DPR-GR. Namun Liga

Demokrasi ini kemudian dibubarkan oleh Soekarno.

Tindakan Presiden Soekarno lainnya dalam menegakkan Demokrasi

Terpimpin adalah membentuk lembaga negara baru yang disebut Front

Nasional. Lembaga ini dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden No. 13

tahun 1959. Dalam penetapan ini disebutkan bahwa Front Nasional adalah

suatu organisasi massa yang memperjuangkan cita-cita Proklamasi dan cita-

cita yang terkandung dalam UUD 1945. Front Nasional langsung diketuai

oleh Presiden Soekarno.

88

Kelas XII SMA/MA

Langkah Presiden Soekarno lainnya adalah melakukan

regrouping

kabinet

berdasarkan Ketetapan Presiden No. 94 tahun 1962 tentang pengintegrasian

lembaga-lembaga tinggi dan tertinggi negara dengan eksekutif. MPRS, DPR-

GR, DPA, Mahkamah Agung dan Dewan Perancang Nasional dipimpin

langsung oleh Presiden. Pengintegrasian lembaga-lembaga tersebut dengan

eksekutif membuat pimpinan lembaga tersebut diangkat menjadi menteri dan

ikut serta dalam sidang-sidang kabinet tertentu dan juga ikut merumuskan dan

mengamankan kebijakan pemerintah pada lembaganya masing-masing.

Selain itu, Presiden juga membentuk suatu lembaga baru yang bernama

Musyawarah Pembantu Pimpinan Revolusi (MPPR) berdasarkan Penetapan

Presiden No. 4/1962. MPPR merupakan badan pembantu Pemimpin Besar

Revolusi (PBR) dalam mengambil kebijakan khusus dan darurat untuk

menyelesaikan revolusi. Keanggotaan MPPR meliputi sejumlah menteri

yang mewakili MPRS, DPR GR, Departemen-departemen, angkatan dan para

pemimpin partai politik Nasakom.

Penilaian terhadap pelaksanaan Demokrasi Terpimpin yang dilaksanakan

oleh Presiden Soekarno pertama kali muncul dari M. Hatta, melalui tulisannya

dalam Majalah Islam “Panji Masyarakat” pada tahun 1960 yang berjudul

“Demokrasi Kita”. Hatta mengungkapkan kritiknya kepada tindakan-tindakan

Presiden, tugas-tugas DPR sampai pada pengamatan adanya ‘krisis demokrasi’,

yaitu sebagai demokrasi yang tidak kenal batas kemerdekaan, lupa syarat-

syarat hidupnya dan melulu menjadi anarki lambat laun akan digantikan oleh

diktator.

TUGAS

a.

Bacalah materi halaman 82-89 tentang Dekret Presiden 5 Juli 1959 dan

tindak

lanjut

setelah

Dekret

tersebut

dibacakan

Soekarno.

b.

Kemudian gambarkan bagan struktur lembaga-lembaga negara (MPR,

DPR, Presiden, DPA, BPK, MA) berdasarkan UUD 1945 sebelum

Amendemen

sekarang atau yang berlaku setelah Dekret Presiden 5 Juli

1959 dibacakan.

c.

Gambarkan pula

struktur

lembaga-lembaga negara

pada masa

Demokrasi Terpimpin.

d.

Buatlah analisis perbandingan antara kedua bagan struktur tersebut,

dan berikan komentar tertulis.

89

Sejarah Indonesia

2.

Peta Kekuatan Politik Nasional

Antara tahun 1960-1965, kekuatan politik pada waktu itu terpusat di

tangan Presiden Soekarno. Presiden Soekarno memegang seluruh kekuasaan

negara dengan TNI AD dan PKI di sampingnya. TNI, yang sejak Kabinet

Djuanda diberlakukan S.O.B. kemudian pemberontakan PRRI dan Permesta

pada tahun 1958, mulai memainkan peranan penting dalam bidang politik.

Dihidupkannya UUD 1945 merupakan usulan dari TNI dan didukung penuh

dalam pelaksanaannya. Menguatnya pengaruh TNI AD, membuat Presiden

Soekarno berusaha menekan pengaruh TNI AD, terutama Nasution dengan dua

taktik, yaitu Soekarno berusaha mendapat dukungan partai-partai politik yang

berpusat di Jawa terutama PKI dan merangkul angkatan-angkatan bersenjata

lainnya terutama angkatan udara.

Kekuatan politik baru lainnya adalah PKI. PKI sebagai partai yang

bangkit kembali pada tahun 1952 dari puing-puing pemberontakan Madiun

1948. PKI kemudian muncul menjadi kekuatan baru pada Pemilihan Umum

1955. Dengan menerima Penetapan Presiden No. 7/1959, partai ini mendapat

tempat dalam konstelasi politik baru. Kemudian dengan menyokong gagasan

Nasakom dari Presiden Soekarno, PKI dapat memperkuat kedudukannya.

Sejak saat itu PKI berusaha menyaingi TNI dengan memanfaatkan dukungan

yang diberikan oleh Soekarno untuk menekan pengaruh TNI AD.

Cobalah kalian baca kembali uraian dalam sub bab mengenai

“Peta Kekuatan Politik Nasional”, lalu jawablah pertanyaan-

pertanyaan di bawah ini. Bandingkan hal ini dengan situasi

politik masa sekarang. Tulis pemikiran kalian di kolom yang

telah disediakan.

Jelaskan tentang kekuatan-

kekuatan politik utama

pada masa Demokrasi

Terpimpin.

Sebab dan bentuk persaingan

atau konflik

serta proses dan

akibat yang ditimbulkan

Jelaskan tentang kekuatan-

kekuatan politik yang ada

pada masa sekarang.

Sebab dan bentuk persaingan

atau konflik

serta proses

dan

akibat yang ditimbulkan

BANDINGKAN

90

Kelas XII SMA/MA

PKI berusaha untuk mendapatkan citra yang positif di depan Presiden

Soekarno. PKI menerapkan strategi “menempel” pada Presiden Soekarno.

Secara sistematis, PKI berusaha memperoleh citra sebagai Pancasilais dan

pendukung kebijakan-kebijakan Presiden Soekarno yang menguntungkannya.

Hal ini seperti apa yang diungkapkan D.N. Aidit bahwa melaksanakan

Manipol secara konsekuen adalah sama halnya dengan melaksakan program

PKI. Hanya kaum Manipolis

munafik

dan kaum reaksionerlah

yang berusaha

menghambat dan menyabot Manipol. Ungkapan Aidit ini merupakan suatu

upaya untuk memperoleh citra sebagai pendukung Soekarno.

PKI mampu memanfaatkan ajaran Nasakom yang diciptakan Soekarno

sebaik-sebaiknya, karena lewat Nasakom inilah PKI mendapat tempat yang

sah dalam konstelasi politik Indonesia. Kedudukan PKI semakin kuat dan

respektabilitasnya sebagai kekuatan politik sangat meningkat. Bahkan ketika

Presiden Soekarno akan membubarkan partai melalui penetapan presiden,

konsep awal disebutkan bahwa partai yang akan dibubarkan adalah partai

yang memberontak.

Namun

dalam

keputusan

final, Presiden

Soekarno

meminta ditambahkan kata “sedang” di depan kata “memberontak”, sehingga

rumusannya berbunyi “sedang memberontak karena para pemimpinnya turut

dalam pemberontakan....”. Sesuai dengan rumusan itu maka calon partai yang

kuat untuk dibubarkan hanya Masyumi dan PSI. Sebaliknya, PKI yang pernah

memberontak pada tahun 1948 terhindar dari pembubaran. (Anhar Gonggong,

2005).

PKI pun melakukan berbagai upaya untuk memperoleh dukungan politik

dari masyarakat. Berbagai slogan disampaikan oleh pemimpin PKI, Aidit,

Siapa setuju Nasakom harus setuju Pancasila. Berbagai pidato Soekarno

dikutip disesuaikan sedemikian rupa sehingga seolah-olah sejalan dengan

gagasan dan cita-cita PKI. PKI terus meningkatkan kegiatannya dengan

berbagai isu yang memberi citra kepada PKI sebagai partai paling Manipolis

dan pendukung Presiden Soekarno yang paling setia.

Ketika Presiden Soekarno gagal membentuk Kabinet Gotong Royong

(Nasakom) pada tahun 1960 karena mendapat tentangan dari kalangan Islam

dan TNI AD, PKI mendapat kompensasi tersendiri dengan memperoleh

kedudukan dalam MPRS, DPR-GR, DPA dan Pengurus Besar Front Nasional

serta dalam Musyawarah Pembantu Pimpinan Revolusi (MPPR). Kondisi

ini mendorong pimpinan TNI AD berusaha untuk mengimbanginya dengan

mengajukan calon-calon lain sehingga menjadi pengontrol terhadap PKI

dalam komposisinya. Upaya ini tidak mencapai hasil yang optimal karena

Presiden Soekarno tetap memberikan porsi dan posisi kepada anggota PKI.

91

Sejarah Indonesia

Ketika TNI AD mensinyalir adanya upaya dari PKI melakukan tindakan

pengacauan di Jawa Tengah, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan dan

Sulawesi Selatan, pimpinan TNI AD mengambil tindakan berdasarkan UU

Keadaan Bahaya Pimpinan TNI AD melarang terbitnya Harian Rakyat dan

dikeluarkan perintah penangkapan Aidit dan kawan-kawan, namun mereka

berhasil lolos. Kegiatan-kegiatan PKI-PKI di daerah juga dibekukan. Namun

tindakan TNI AD ini tidak disetujui oleh Presiden Soekarno dan memerintahkan

segala keputusan dicabut kembali. Presiden Soekarno melarang Peperda

mengambil tindakan politis terhadap PKI.

Pada akhir tahun 1964, PKI disudutkan dengan berita ditemukannya

dokumen rahasia milik PKI tentang Resume Program Kegiatan PKI Dewasa

ini. Dokumen tersebut menyebutkan bahwa PKI akan melancarkan perebutan

kekuasaan. Namun pimpinan PKI, Aidit, menyangkal dengan berbagai cara

dan menyebutnya sebagai dokumen palsu. Peristiwa ini menjadi isu politik

besar pada tahun 1964. Namun hal ini diselesaikan Presiden Soekarno dengan

mengumpulkan para pemimpin partai dan membuat kesepakatan untuk

menyelesaikan permasalahan di antara unsur-unsur di dalam negeri diselesaikan

secara musyawarah karena sedang menjalankan, konfrontasi dengan Malaysia.

Kesepakatan tokoh-tokoh partai politik ini dikenal sebagai Deklarasi Bogor.

Namun PKI melakukan tindakan sebaliknya dengan melakukan sikap ofensif

dengan melakukan serangan politik terhadap Partai Murba dengan tuduhan

telah memecah belah persatuan Nasakom, dan akan mengadakan kudeta serta

akan membunuh ajaran dan pribadi Presiden Soekarno. Upaya-upaya PKI

ini membawa hasil dengan ditangkapnya tokoh-tokoh Murba, diantaranya

Soekarni dan Partai Murba dibekukan oleh Presiden Soekarno.

Merasa kedudukannya yang semakin kuat PKI berusaha untuk memperoleh

kedudukan dalam kabinet. Berbagai upaya dilakukan PKI mulai dari aksi corat-

coret, pidato-pidato dan petisi-petisi yang menyerukan pembentukan Kabinet

Nasakom. Mereka juga menuntut penggantian pembantu-pembantu Presiden

yang tidak mampu merealisasikan Tri Program Pemerintah, serta mendesak

supaya segera dibentuk Kabinet Gotong-Royong yang berporoskan Nasakom.

Terhadap TNI AD pun, PKI melakukan berbagai upaya dalam rangka

mematahkan pembinaan teritorial yang sudah dilakukan oleh TNI AD. Seperti

peristiwa Bandar Betsy (Sumatera Utara) dan Peristiwa Jengkol. Upaya

merongrong ini dilakukan melalui radio, pers, dan poster yang menggambarkan

setan desa yang harus dibunuh dan dibasmi. Tujuan politik PKI di sini adalah

menguasai desa untuk mengepung kota.

92

Kelas XII SMA/MA

3.

Pembebasan Irian Barat

Salah satu isu politik luar negeri yang terus menjadi pekerjaan rumah

kabinet RI adalah masalah Irian Barat. Wilayah ini telah menjadi bagian RI

yang diproklamasikan sejak 17 Agustus 1945. Akan tetapi dalam perundingan

KMB tahun 1950 masalah penyerahan Irian Barat ditangguhkan satu tahun

dan berhasil dicapai dalam suatu kompromi pasal di Piagam Penyerahan

Kedaulatan yang berbunyi:

“Mengingat kebulatan hati pihak-pihak yang bersangkutan hendak

mempertahankan asas supaya semua perselisihan yang mungkin ternyata kelak

atau timbul diselesaikan dengan jalan patut dan rukun, maka status quo Irian

(Nieuw Guinea) tetap berlaku seraya ditentukan bahwa dalam waktu setahun

sesudah tanggal penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat

masalah kedaulatan Irian akan diselesaikan dengan jalan perundingan antara

Republik Indonesia Serikat

dan Kerajaan

Nederland”. (Piagam Penyerahan

Kedaulatan, dalam Notosoetardjo, Dokumen-dokumen Konperensi Medja

Bundar: Sebelum, Sesudah dan Pembubarannya, Pustaka Endang, 1956)

Upaya yang dilakukan sesuai dengan piagam penyerahan kedaulatan

adalah melalui konferensi uni yang dilakukan secara bergilir di Jakarta dan

di Belanda. Namun upaya penyelesaian secara bilateral ini telah mengalami

kegagalan dan pemerintah kita mengajukan permasalahan ini ke Sidang

Majelis Umum PBB. Namun upaya-upaya diplomasi yang dilakukan di

forum PBB terus mengalami kegagalan. Indonesia pun kemudian mengambil

jalan diplomasi aktif dan efektif yang puncaknya dilakukannya Konferensi

Asia Afrika. Langkah ini cukup efektif dalam menggalang kekuatan untuk

menyokong perjuangan diplomasi Indonesia di tingkat internasional yang

memaksa Belanda melunakkan sikapnya dan mau berunding bilateral untuk

menyelesaikan permasalahan Irian.

Karena jalan damai yang telah ditempuh selama satu dasa warsa tidak

berhasil mengembalikan Irian Barat, pemerintah Indonesia memutuskan untuk

menempuh jalan lain. Upaya ini telah dilakukan Indonesia sejak tahun 1957,

jalan lain yang dilakukan adalah melancarkan aksi-aksi pembebasan Irian

Barat, dimulai pengambilalihan semua perusahaan milik Belanda di Indonesia

oleh kaum buruh. Untuk mencegah anarki, KSAD, Nasution, mengambil alih

semua perusahaan milik Belanda dan menyerahkannya kepada pemerintah.

Hubungan Indonesia-Belanda semakin memuncak ketegangan pada 17

Agusus 1960, ketika Indonesia akhirnya memutuskan hubungan diplomatik

dengan pemerintah Kerajaan Belanda.

93

Sejarah Indonesia

Presiden Soekarno dalam pidatonya tanggal 30 September 1960 di depan

Sidang Majelis Umum PBB menegaskan kembali sikapnya tentang upaya

mengembalikan Irian Barat ke pangkuan RI. Dalam pidato yang berjudul

Membangun Dunia Kembali, Soekarno menegaskan bahwa:

“Kami telah berusaha untuk menyelesaikan masalah Irian Barat. Kami

telah berusaha dengan sungguh-sungguh dan dengan penuh kesabaran dan

penuh toleransi dan penuh harapan. Kami telah berusaha untuk mengadakan

perundingan-perundingan bilateral.... Harapan lenyap, kesabaran hilang;

bahkan toleransi pun mencapai batasnya.

Semuanya itu kini telah habis

dan

Belanda tidak memberikan alternatif lainnya, kecuali memperkeras sikap kami.”

(Sketsa Perjalanan Bangsa Berdemokrasi, Depkominfo, 2005)

Pidato Presiden Soekarno itu, membawa dampak kepada dibuka kembalinya

perdebatan Irian Barat di PBB. Usulan yang muncul dari perdebatan itu adalah

agar pihak Belanda menyerahkan kedaulatan Irian Barat kepada Republik

Indonesia. Penyerahan ini dilakukan melalui PBB dalam waktu dua tahun.

Usulan ini datang dari wakil Amerika Serika di PBB, Ellsworth Bunker.

Usulan itu secara prinsip disetujui oleh Pemerintah Indonesia namun dengan

waktu yang lebih singkat. Sedangkan pemerintah Belanda lebih menginginkan

membentuk negara Papua terlebih dahulu. Keinginan pemerintah Belanda

ini disikapi Presiden Soekarno dengan “Politik Konfrontasi disertai dengan

uluran tangan. Palu godam disertai dengan ajakan bersahabat”.

Setelah upaya merebut kembali Irian Barat dengan diplomasi dan

konfrontasi politik dan ekonomi tidak berhasil, maka pemerintah RI

menempuh cara lainnya melalui jalur konfrontasi militer. Dalam rangka

persiapan kekuatan militer untuk merebut kembali Irian Barat, pemerintah RI

mencari bantuan senjata ke luar negeri. Pada awalnya usaha ini dilakukan

kepada negara-negara Blok Barat, khususnya Amerika Serikat, namun tidak

membawa hasil yang memuaskan. Kemudian upaya ini dialihkan ke negara-

negara Blok Timur (komunis), terutama ke Uni Soviet.

Belanda mulai menyadari bahwa jika Irian Barat tidak diserahkan ke

Indonesia secara damai, maka Indonesia akan menempuh dengan kekuatan

militer. Melihat perkembangan persiapan militer Indonesia, Belanda

mengajukan nota protes kepada PBB bahwa Indonesia akan melakukan

agresi. Belanda kemudian memperkuat kedudukannya di Irian Barat dengan

mendatangkan bantuan dengan mengerahkan kapal perangnya ke perairan

Irian, di antaranya adalah kapal induk Karel Doorman.

94

Kelas XII SMA/MA

Perebutan kembali Irian Barat merupakan suatu tuntutan konstitusi, sesuai

dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945. Oleh karena

itu, segala upaya telah dilakukan dan didukung oleh semua kalangan baik

kalangan politisi maupun militer. Oleh karena itu, dalam rangka perjuangan

pembebasan Irian Barat, Presiden Soekarno, pada tanggal 19 Desember

1961, di depan rapat raksasa di Yogyakarta, mengeluarkan suatu komando

untuk berkonfrontasi secara militer dengan Belanda yang disebut dengan Tri

Komando Rakyat (Trikora). Isi dari Trikora tersebut adalah:

1.

Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda

2.

Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat.

3.

Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan

dan kesatuan tanah air dan bangsa.

Dengan dideklarasikannya Trikora mulailah konfrontasi total terhadap

Belanda di Papua. Langkah pertama yang dilakukan oleh Presiden Soekarno

mengeluarkan Keputusan Presiden No. 1 tahun 1962 tertanggal 2 Januari 1962

tentang pembentukan Komando Mandala Pembebasan Irian Barat di bawah

Komando Mayor Jenderal Soeharto.

Sebelum Komando Mandala menjalankan fungsinya,

unsur militer Indonesia dari kesatuan Motor Torpedo

Boat (MTB), telah melakukan penyusupan ke Irian Barat.

Namun upaya ini diketahui oleh Belanda sehinga terjadi

pertempuran yang tidak seimbang di Laut Aru antara

kapal-kapal boat Indonesia dengan kapal-kapal Belanda.

Naas Kapal MTB Macan Tutul, berhasil ditembak Belanda

sehingga kapal terbakar dan tenggelam.

Peristiwa ini memakan korban Komodor Yos Sudarso,

Deputy KSAL dan Kapten Wiratno yang gugur bersamaan

dengan tenggelamnya MTB Macan Tutul. Pemerintah

Belanda pada mulanya menganggap enteng kekuatan militer

di bawah Komando Mandala. Belanda menganggap bahwa

pasukan

Indonesia

tidak akan mampu

melakukan

infiltrasi

ke wilayah

Irian. Namun

ketika operasi

infiltrasi

Indonesia

berhasil merebut dan menduduki kota Teminabuan, Belanda terpaksa bersedia

kembali untuk duduk berunding guna menyelesaikan sengketa Irian. Tindakan

Indonesia membuat para pendukung Belanda di PBB menyadari bahwa

tuntutan pimpinan Indonesia bukan suatu yang main-main.

Di sisi lain Pemerintah Amerika Serikat juga menekan pemerintah

Belanda untuk kembali berunding, agar Amerika Serikat dan Uni Soviet tidak

Sumber: Atlas Nasional

Indonesia, Bakosurtanal,

2011

Gambar 3.4 MTB

Macan Tutul dan

lokasi pertempuran

Laut Aru

95

Sejarah Indonesia

terseret

dalam suatu konfrontasi

langsung

di Pasifik

Barat Daya.

Amerika

Serikat juga punya kepentingan dengan kebijakan politik luar negerinya

untuk membendung arus komunis di wilayah ini. Akhirnya pada tanggal 15

Agustus 1962 ditanda-tangani perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan

Pemerintah Belanda di New York, hal ini dikenal sebagai Perjanjian New

York.

Hal pokok dari isi perjanjian itu adalah penyerahan pemerintahan di Irian

dari pihak Belanda ke PBB. Untuk kepentingan ini kemudian dibentuklah

United Nation Temporary Excecutive Authority

(UNTEA) yang kemudian

akan menyerahkan Irian Barat ke pemerintah Indonesia sebelum tanggal 1

Mei 1963. Berdasarkan Perjanjian New York, pemerintah Indonesia punya

kewajiban untuk menyelenggarakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di

Irian Barat sebelum akhir 1969 dengan ketentuan kedua belah pihak harus

menerima apapun hasil dari Pepera tersebut.

Tindak lanjut berikutnya adalah pemulihan hubungan Indonesia Belanda

yang dilakukan pada tahun 1963 dengan membuka kembali kedutaan Belanda

di Jakarta dan kedutaan Indonesia di Den Haag.

Sesuai dengan Perjanjian New York, pada tanggal 1 Mei 1963 secara resmi

dilakukan penyerahan kekuasan Pemerintah Irian Barat dari UNTEA kepada

Pemerintah Republik Indonesia di Kota Baru/Holandia/Jayapura. Kembalinya

Irian ke pangkuan RI berakhirlah perjuangan memperebutkan Irian Barat.

Sebagai tindak lanjut dari Perjanjian New York, Pemerintah Indonesia

melaksanakan tugas untuk melaksankan

Act Free Choice

/Penentuan Pendapat

Rakyat (Pepera). Pemerintah Indonesia menjalankan dalam tiga tahap. Tiga

tahapan ini sukses dijalankan oleh pemerintah Indonesia dan hasil dari Pepera

kemudian dibawa oleh Duta Besar Ortis Sanz ke New York untuk dilaporkan

ke Sidang Umum Dewan Keamanan PBB. Pada tanggal 19 November 1969,

Sidang Umum PBB ke-24 menerima hasil Pepera yang telah dilakukan

Indonesia karena sudah sesuai dengan isi Perjanjian New York. Sejak saat

itulah Indonesia secara

de jure

dan

de facto

memperoleh kembali Irian Barat

sebagai bagian dari NKRI.

TUGAS

Carilah informasi mengenai tokoh-tokoh yang memiliki kaitan dengan upaya

pembebasan Irian Barat. Buat keterangan singkat tentang tokoh-tokoh

tersebut berikut peranan mereka. Informasi bisa kamu dapatkan

melalui

studi pustaka dan internet.

96

Kelas XII SMA/MA

4. Konfrontasi Terhadap Malaysia

Masalah Malaysia merupakan isu yang menguntungkan PKI untuk

mendapatkan tempat dalam kalangan pimpinan negara. Masalah ini berawal

dari munculnya keinginan Tengku Abdul Rahman dari persekutuan Tanah

Melayu dan Lee Kuan Yu dari Republik Singapura untuk menyatukan kedua

negara tersebut menjadi Federasi Malaysia. Rencana pembentukan Federasi

Malaysia mendapat tentangan dari Filipina dan Indonesia. Filipina menentang

karena memiliki keinginan atas wilayah Sabah di Kalimantan Utara. Filipina

mengangg

ap bahwa wilayah Sabah secara historis adalah milik Sultan Sulu.

Pemerint

ah Indonesia pada saat itu menentang karena menurut Presiden

Soekarno pembentukan Federasi Malaysia merupakan sebagian dari rencana

Inggris untuk mengamankan kekuasaanya di Asia Tenggara. Pembentukan

Federasi Malaysia dianggap sebagai proyek neokolonialisme Inggris yang

membahayakan revolusi Indonesia. Oleh karena itu, berdirinya negara federasi

Malaysia ditentang oleh pemerintah Indonesia.

Untuk meredakan ketegangan di antara tiga negara tersebut kemudian

diadakan Konferensi Maphilindo (Malaysia, Philipina dan Indonesia) di

Filipina pada tanggal 31 Juli-5 Agustus 1963. Hasil-hasil pertemuan puncak itu

memberikan kesan bahwa ketiga kepala pemerintahan berusaha mengadakan

penyelesaian secara damai dan sebaik-baiknya mengenai rencana pembentukan

Federasi Malaysia yang menjadi sumber sengketa. Konferensi Maphilindo

menghasilkan tiga dokumen penting, yaitu Deklarasi Manila, Persetujuan

Manila dan Komunike Bersama. Inti pokok dari tiga dokumen tersebut adalah

Indonesia dan Filipina menyambut baik pembentukan Federasi Malaysia jika

rakyat Kalimantan Utara menyetujui hal itu.

Mengenai pembentukan Federasi Malaysia, ketiga kepala pemerintahan

setuju untuk meminta Sekjen PBB untuk melakukan pendekatan terhadap

persoalan ini sehingga dapat diketahui keinginan rakyat di daerah-daerah

yang akan dimasukkan ke dalam Federasi Malaysia. Kemudian ketiga kepala

pemerintahan tersebut meminta Sekjen PBB membetuk tim penyelidik.

Menindaklanjuti permohonan ketiga pimpinan pemerintahan tersebut,

Sekretaris Jenderal PBB membetuk tim penyelidik yang dipimpin oleh

Lawrence Michelmore. Tim tersebut memulai tugasnya di Malaysia pada

tanggal 14 September 1963. Namun sebelum misi PBB menyelesaikan

tugasnya dan melaporkan hasil kerjanya, Federasi Malaysia diproklamasikan

pada tanggal 16 September 1963. Oleh karena itu, pemerintah RI menganggap

proklamasi tersebut sebagai pelecehan atas martabat PBB dan pelangggaran

97

Sejarah Indonesia

Komunike Bersama Manila, yang secara jelas menyatakan bahwa penyelidikan

kehendak rakyat Sabah dan Serawak harus terlebih dahulu dilaksanakan

sebelum Federasi Malaysia diproklamasikan.

Presiden Soekarno tidak dapat menerima tindakan yang dilakukan oleh

PM Tengku Abdul Rahman karena menganggap referendum tidak dijalankan

secara semestinya. Hal itu merupakan suatu perwujudan dari “

act of bad

faith

” dari Tengku Abdul Rahman. Aksi-aksi demonstrasi menentang terjadi

di Jakarta yang dibalas pula dengan aksi-aksi demontrasi besar terhadap

kedutaan RI di Kuala Lumpur, sehingga pada tanggal 17 September 1963,

hubungan diplomatik Indonesia Malaysia diputuskan. Pemerintah RI

pada tanggal 21 September memutuskan pula hubungan ekonomi dengan

Malaya, Singapura, Serawak dan Sabah. Pada akhir tahun 1963 pemerintah

RI menyatakan dukungannya terhadap perjuangan rakyat Kalimantan Utara

dalam melawan Neokolonilisme Inggris.

Konflik

di Asia Tenggara

ini menarik

perhatian

beberapa

negara

dan

menghendaki penyelesaian pertikaian secara damai. Pemerintah Amerika

Serikat, Jepang dan Thailand berusaha melakukan mediasi menyelesaikan

masalah ini. Namun masalah pokok yang menyebabkan sengketa dan

memburuknya hubungan ketiga negara tersebut tetap tidak terpecahkan,

karena PM Federasi Malaysia, Tengku Abdul Rahman tidak menghadiri forum

pertemuan tiga negara.

Upaya lainnya adalah melakukan pertemuan menteri-menteri luar negeri

Indonesia, Malaysia dan Filipina di Bangkok. Namun pertemuan Bangkok yang

dilakukan sampai dua kali tidak menghasilkan satu keputusan yang positif,

sehingga diplomasi mengalami kemacetan. Di tengah kemacetan diplomasi

itu pada 3 Mei 1964 Presiden Soekarno mengucapkan Dwi Komando Rakyat

(Dwikora) di hadapan apel besar sukarelawan.

“Kami perintahkan kepada dua puluh satu juta sukarelawan Indonesia yang

telah mencatatkan diri: perhebat ketahanan revolusi Indonesia dan bantuan

perjuangan revolusioner rakyat-rakyat Manila, Singapura, Sabah, Serawak dan

Brunai

untuk membubarkan

negara

boneka

Malaysia”.

(Taufik

Abdullah

dan AB

Lapian, 2012)

Untuk menjalankan konfrontasi Dwikora, Presiden Soekarno membentuk

Komando Siaga dengan Marsekal Madya Oemar Dani sebagai Panglimanya.

Walaupun pemerintah Indonesia telah memutuskan melakukan konfrontasi

secara total, namun upaya penyelesaian diplomasi terus dilakukan. Presiden

RI menghadiri pertemuan puncak di Tokyo pada tanggal 20 Juni 1964.

98

Kelas XII SMA/MA

Ditengah berlangsungnya Konfrontasi Indonesia Malaysia, Malaysia

dicalonkan menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Kondisi

ini mendorong pemerintah Indonesia mengambil sikap menolak pencalonan

Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Sikap Indonesia

ini langsung disampaikan Presiden Soekarno pada pidatonya tanggal 31

Desember 1964. Presiden Seokarno menegaskan bahwa:

“Oleh karenanya, jikalau PBB sekarang, PBB yang belum diubah, yang tidak

lagi mencerminkan keadaan sekarang, jikalau PBB menerima Malaysia menjadi

anggota Dewan Keamanan, kita, Indonesia, akan keluar, kita akan meninggalkan

PBB sekarang”. (Taufik

Abdullah dan

AB Lapian, 2012)

Dari pidato tersebut terlihat bahwa keluarnya Indonesia dari PBB adalah

karena masuknya Malaysia menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan

PBB. Ketika tanggal 7 Januari 1965 Malaysia dinyatakan diterima sebagai

anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, dengan spontan Presiden Sokearno

menyatakan “Indonesia keluar dari PBB”.

Walaupun Indonesia sudah keluar dari PBB, sasaran-sasaran yang ingin

dicapai oleh pemerintah Indonesia terkait sengketa Indonesia Malaysia dan

perombakan PBB tetap tidak tercapai. Karena dengan keluarnya Indonesia

dari PBB, Indonesia kehilangan satu forum yang dapat digunakan untuk

mencapai penyelesaian persengketaan dengan Malaysia secara damai.

TUGAS

a.

Buatlah

kelompok yang terdiri atas 3-4 orang

b.

Masing-masing kelompok

mencari informasi

tentang perekonomian

pada masa Demokrasi Terpimpin. Melalui bimbingan guru, setiap

kelompok mendapatkan satu topik

seperti

yang tercantum di bawah ini:

1) Kebijakan sanering mata uang

2) Pola Pembangunan Semesta Berencana

3) Penurunan nilai uang dan pembekuan simpanan di Bank

4) Konsep Juanda

5) Panitia 13

6) Dekon

7) Proyek Mercusuar

c.

Informasi tentang topik-topik tersebut akan kalian diskusikan dan

presentasikan pada pertemuan berikutnya.

99

Sejarah Indonesia

B. Perkembangan Ekonomi Masa Demokrasi Terpimpin

Sejak diberlakukannya kembali UUD 1945, dimulailah pelaksanaan

ekonomi terpimpin, sebagai awal berlakunya

herordering

ekonomi. Dimana

alat-alat produksi dan distribusi yang vital harus dimiliki dan dikuasai

oleh negara atau minimal di bawah pengawasan negara. Dengan demikian

peranan pemerintah dalam kebijakan dan kehidupan ekonomi nasional makin

menonjol. Pengaturan ekonomi berjalan dengan sistem komando. Sikap dan

kemandirian ekonomi (berdikari) menjadi dasar bagi kebijakan ekonomi.

Masalah pemilikan aset nasional oleh negara dan fungsi-fungsi politiknya

ditempatkan sebagai masalah strategis nasional.

Kondisi ekonomi dan keuangan yang ditinggalkan dari masa Demokrasi

Liberal berusaha diperbaiki oleh Presiden Soekarno. Beberapa langkah yang

dilakukannya antara lain membentuk Dewan Perancang Nasional (Depernas)

dan melakukan

sanering

mata uang kertas yang nilai nominalnya Rp500 dan

Rp1.000,00 masing-masing nilainya diturunkan menjadi 10% saja.

Depernas disusun di bawah Kabinet Karya pada tanggal 15 Agustus 1959

yang dipimpin oleh Mohammad Yamin dengan beranggotakan 80 orang. Tugas

dewan ini menyusun

overall planning

yang meliputi bidang ekonomi, kultural

dan mental. Pada tanggal 17 Agustus 1959 Presiden Soekarno memberikan

pedoman kerja bagi Depernas yang tugas utamanya memberikan isi kepada

proklamasi melalui

grand strategy,

yaitu perencanaan

overall

dan hubungan

pembangunan dengan Demokrasi Terpimpin dan Ekonomi Terpimpin.

Depernas kemudian menyusun program kerjanya berupa pola pembangunan

nasional yang disebut sebagai Pola Pembangunan Semesta Berencana dengan

mempertimbangkan faktor pembiayaan dan waktu pelaksanaan pembangunan.

Perencanaan ini meliputi perencanaan segala segi pembangunan jasmaniah,

rohaniah, teknik, mental, etis dan spiritual berdasarkan norma-norma dan

nilai-nilai yang tersimpul dalam alam adil dan makmur. Pola Pembangunan

Semesta dan Berencana terdiri atas

Blueprint

tripola, yang meliputi pola

proyek pembangunan, pola penjelasan pembangunan dan pola pembiayaan

pembangunan.

Pola Proyek Pembangunan Nasional Semesta Berencana tahap pertama

dibuat untuk tahun 1961-1969, proyek ini disingkat dengan Penasbede.

Penasbede ini kemudian disetujui oleh MPRS melalui Tap MPRS No. I/

MPRS/1960 tanggal 26 Juli 1960 dan diresmikan pelaksanaanya oleh Presiden

Soekarno pada tanggal 1 Januari 1961.

100

Kelas XII SMA/MA

Depernas pada tahun 1963 diganti dengan Badan Perancangan

Pembangunan Nasional (Bappenas) yang dipimpin langsung oleh Presiden

Soekarno sendiri. Tugas Bappenas ialah menyusun rancangan pembangunan

jangka panjang dan jangka pendek, baik nasional maupun daerah, serta

mengawasi laporan pelaksanaan pembangunan, dan menyiapkan dan menilai

Mandataris untuk MPRS.

Kebijakan

sanering

yang dilakukan pemerintah berdasarkan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 2/1959 yang berlaku tanggal

25 Agustus 1959 pukul 06.00 pagi. Peraturan ini bertujuan mengurangi

banyaknya uang yang beredar untuk kepentingan perbaikan keuangan dan

perekonomian negara. Untuk mencapai tujuan itu uang kertas pecahan

Rp500,00 dan Rp1.000,00 yang ada dalam peredaran pada saat berlakunya

peraturan itu diturunkan nilainya menjadi Rp50,00 dan Rp100,00. Kebijakan

ini diikuti dengan kebijakan pembekuan sebagian simpanan pada bank-bank

yang nilainya di atas Rp25.000,00 dengan tujuan untuk mengurangi jumlah

uang yang beredar. Kebijakan keuangan kemudian diakhiri dengan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 6/1959 yang isi pokoknya ialah

ketentuan bahwa bagian uang lembaran Rp1.000,00 dan Rp500,00 yang masih

berlaku harus ditukar dengan uang kertas bank baru yang bernilai Rp100,00

dan Rp50,00 sebelum tanggal 1 Januari 1960.

Setelah keamanan nasional berhasil dipulihkan, kasus DI/TII Jawa Barat

dan pembebasan Irian Barat, pemerintah mulai memikirkan penderitaan

rakyatnya dengan melakukan rehabilitasi ekonomi. Konsep rehabilitasi

ekonomi disusun oleh tim yang dipimpin oleh Menteri Pertama Ir Djuanda

dan hasilnya dikenal dengan sebutan Konsep Djuanda. Namun konsep ini mati

sebelum lahir karena mendapat kritikan yang tajam dari PKI karena dianggap

bekerja sama dengan negara revisionis, Amerika Serikat dan Yugoslavia.

Upaya perbaikan ekonomi lain yang dilakukan pemerintah adalah

membentuk Panitia 13. Anggota panitia ini bukan hanya para ahli ekonomi,

namun juga melibatkan para pimpinan partai politik, anggota Musyawarah

Pembantu Pimpinan Revolusi (MPPR), pimpinan DPR, DPA. Panitia ini

menghasilkan konsep yang kemudian disebut Deklarasi Ekonomi (Dekon)

sebagai strategi dasar ekonomi Indonesia dalam rangka pelaksanaan Ekonomi

Terpimpin.

Strategi Ekonomi Terpimpin dalam Dekon terdiri atas beberapa tahap;

Tahapan pertama, harus menciptakan suasana ekonomi yang bersifat nasional

demokratis yang bersih dari sisa-sisa imperialisme dan kolonialisme. Tahapan

ini merupakan persiapan menuju tahapan kedua yaitu tahap ekonomi sosialis.

101

Sejarah Indonesia

Beberapa peraturannya merupakan upaya mewujudkan stabilitas ekonomi

nasional dengan menarik modal luar negeri serta merasionalkan ongkos

produksi dan menghentikan subsidi.

Peraturan pelaksanaan Dekon tidak terlepas dari campur tangan politik

yang memberi tafsir sendiri terhadap Dekon. PKI termasuk partai yang menolak

melaksanakan Dekon, padahal Aidit terlibat di dalam penyusunannya, selama

yang melaksanakannya bukan orang PKI. Empat belas peraturan pemerintah

yang sudah ditetapkan dihantam habis-habisan oleh PKI. Djuanda dituduh

PKI telah menyerah kepada kaum imperialis. Presiden Soekarno akhirnya

menunda pelaksanaan peraturan pemerintah tersebut pada bulan September

1963 dengan alasan sedang berkonsentrasi pada konfrontasi dengan Malaysia.

Kondisi ekonomi semakin memburuk karena anggaran belanja negara

setiap tahunnya terus meningkat tanpa diimbangi dengan pendapatan negara

yang memadai. Salah satu penyebab membengkaknya anggaran belanja tersebut

adalah pembangunan proyek-proyek mercusuar, yang lebih bersifat politis

dari pada ekonomi, misalnya pembangunan Monumen Nasional (Monas),

pertokoan Sarinah, dan kompleks olahraga Senayan yang dipersiapkan untuk

Asian Games IV dan

Games Of the New Emerging Forces

(Ganefo).

Kondisi perekonomian yang sangat merosot mendorong pemerintah

berusaha mendapatkan devisa kredit (kredit impor) jangka panjang yang harus

dibayar kembali setelah satu atau dua tahun. Menteri Bank Sentral Yusuf

Muda Dalam memanfaatkan devisa kredit ini sebagai

deferedpayment

khusus

untuk menghimpun dan menggunakan dana revolusi dengan cara melakukan

pungutan terhadap perusahaan atau perseorangan yang memperoleh fasilitas

kredit antara Rp250 juta sampai Rp 1 milyar. Perusahaan atau perseorangan

itu harus membayar dengan valuta asing dalam jumlah yang sudah ditetapkan.

Walaupun cadangan devisa menipis, Presiden Soekarno tetap pada

pendiriannya untuk menghimpun dana revolusi, karena dana ini digunakan

untuk membiayai proyek-proyek yang bersifat prestise politik atau mercusuar,

dengan mengorbankan ekonomi dalam negeri.

Dampak dari kebijakan tersebut ekonomi semakin semrawut dan

kenaikan barang mencapai 200-300% pada tahun 1965 sehingga pemerintah

mengeluarkan kebijakan bahwa pecahan mata uang Rp1.000,00 (uang lama)

diganti dengan Rp1,00 (uang baru). Tindakan penggantian uang lama dengan

uang baru diikuti dengan pengumuman kenaikan harga bahan bakar yang

mengakibatkan reaksi penolakan masyarakat. Hal inilah yang kemudian

menyebabkan mahasiswa dan masyarakat turun ke jalan menyuarakan aksi-

aksi Tri Tuntutan Rakyat (Tritura).

102

Kelas XII SMA/MA

KESIMPULAN

1.

Dinamika politik yang terjadi pada masa Demokrasi Terpimpin

antara lain diwarnai dengan tampilnya dua kekuatan politik di

Indonesia yang saling bersaing, yaitu PKI dan Angkatan Darat.

2.

Pada masa Demokrasi Terpimpin pula, Indonesia melakukan

operasi militer untuk membebaskan Papua dari penjajahan

Belanda (Trikora). Selain itu, konfrontasi dengan Malaysia juga

terjadi (Dwikora).

3.

Kebijakan ekonomi yang dilakukan pada masa Demokrasi

Terpimpin antara lain berupa pembentukan Dewan Perancang

Nasional dan Deklarasi Ekonomi, serta dilakukan Devaluasi Mata

Uang. Proyek Mercusuar berupa pembangunan Monas, kompleks

olahraga Senayan, Pemukiman Kebayoran juga berlangsung.

LATIH UJI KOMPETENSI

1.

Jelaskan latar belakang terjadinya:

a.

upaya pembebasan Irian melalui operasi militer

b.

konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia.

2.

Jelaskan tentang kebijakan sanering yang dilakukan oleh

pemerintah pada tahun 1959.